Amarahmu seperti api yang menjalar.
Hingga perasaanku terlanjur meradang.
Seseorang yang kupuja selama ini.
Telah melibaskan nestapa tak berangin.
Meninggalkan kepingan-kepingan kenangan, untukku panggul pulang sebagai hadiah terakhir atas duka yang terukir.
Aku hanya bisa bergeming dengan bibir terkatup rapat.
Kepalaku merunduk, lidahku melumpuh.
Mataku hanya sanggup melihat lututku sendiri.
Di detik-detik kau menghembuskan napas yang begitu panjang. Sangat panjang.
Hingga aku tahu seberapa jauh kesempatan yang ku punya.
Dan benar adanya, tak lama dari itu bibirmu mengucapkan kata usai.
Aku terdiam, tak meresapi apa-apa.
Hanya egomu yang mencuat, dan aku terlambat memadamkannya.
Ingin sekali rasanya memintamu untuk menunggu. Kemudian mengingatkanmu kembali, tentang alasan kita memulai semua ini dari awal.
Napasku yang ritmenya cepat, dan hatiku yang tersayat. Seperti mematikan langkahku.
Ingin sekali rasanya meleburkan kecewa yang mendaki di puncak kepalamu.
Hanya karna sebuah alasan yang sederhana. Dan tak bisa kuterima dengan seluruh logika, untuk meng-iyakan perpisahan yang kau layangkan paksa.
Ingin rasanya, menghirup segala sesak yang tersekat di dadamu.
Lalu menyeka jenuh dari binar kelopak matamu yang menenangkan.
Kemudian kita dapat berlabuh di muara damai.
Lagi-lagi, aku hanya bisa berangan.
Sedemikian jatuhnya. Aku terjebak.
Sehingga rasanya ketika kau tinggal pergi.
Aku sudah tak punya cukup keyakinan, untuk dapat berangsur pulih.
Kau berkata, bahwa tak ada bahagia yang bisa kau berikan lagi.
Semuanya telah menghambar, raib di telan waktu.
Padahal aku masih bisa mengupayakan segala yang baik, untuk mengusir rasa jenuh yang tertinggal di jantung kalimat. pada debarmu yang masih tersela namaku.
Mengapa aku tak bisa berhenti memikirkanmu. Meskipun kau telah pergi meninggalkanku.
Mengapa ku terus jatuh untuk kenangan dan masa yang telah berlalu.
Mungkin salahku juga yang terlalu mencintaimu dengan sepenuh hatiku.
Mengapa luka ini tak bisa membuatku membencimu.
Kapankah air mata ini, menjadi air mata yang bening dan tak keruh.
Kapankah derai tangisku terhenti.
Kapankah aku bisa menikmati kesendirian tanpa harus melibatkanmu sebagai kenangan yang tak ingin kuingat lagi.
Aku tak tau, aku menyerah. Aku hanya bisa pasrah yang beralaskan tabah.
Kini hari-hariku seperti puisi sendu yang kubacakan.
Hanya sepi, hampir tak ada tawa.
Dan aku terus menceritakan kisahmu.
Merenungi kepergianmu yang terlalu prematur.
Di antara banyaknya ragam kekecewaan yang pernah kau berikan,
Aku masih tetap ingin menunggumu pulang.
Di antara banyaknya celah untuk memulai hubungan dengan orang baru.
Aku sengaja menutup rapat semua kesempatan itu.
Bukan karna aku terlalu mencintai luka ini.
Membebaskan satu orang di dalam kepala saja sudah sangat merepotkan.
Sepertinya aku sudah kehilangan banyak kepercayaan diri untuk mengenal orang baru.
Dan itu sangat melelahkan.
Kembali pada bab pertama dalam suatu pertemuan.
Mengenal satu sama lain bukanlah hal yang sangat sesederhana itu.
Yang pastinya, aku masih disini menikmati sisa-sisa rindu, sebelum semuanya meredup bersama waktu.
-Lingga Annar.
Komentar
Posting Komentar