Aku sering bertengkar dengan isi di dalam kepalaku.
Ketika kusut berkali-kali menjelma rindu.
Dengan segelas kopi hangat, di temani celoteh hujan.
Aku menulis sajak yang tak sempat ku selesaikan kepada dewi cinta.
Beberapa kali kenangan mengusik, seperti peluru yang berdesing.
Melumat kisah yang sebenarnya memang tak pernah utuh.
Aku bertengkar dengan hebatnya, di saat malam menyembunyikan gelapnya di pelupuk matamu.
Tapi kau tetap jumawa, menunjuk-nunjuk bintang yang katamu. Nelangsa itu tak ber-Tuan.
Kau kalah, aku juga kalah.
Maka hilang sebenarnya milik siapa?
Hilang hanyalah sebuah kekalahan tanpa pemenang.
Kita sama-sama mengaminkan tinggi, kemudian bertolak diri.
Walaupun kita pernah menjadi sepasang rahasia pada sebuah puisi yang paling sepi.
Bahagia bukan hanya milik kita saja, nestapa selalu berjalan di sela-sela waktu yang sibuk.
Mencuri tempat, merampas tawa.
Maka tak salah, ketika daun-daun itu gugur merunduk. Sebab sudah waktunya.
Yang tergenggam, memang harus di lepaskan.
Meski simpul sudah erat kau ikatkan.
Kau wanita yang bermata puisi.
Napasmu membanting sunyi, mendayung sampan, melabuh riak.
Ada yang datang kau berteriak..
"Lautmu akan mati, dayungmu akan patah, kau akan kehilangan pesisir tujuan."
Awalnya aku tak sanggup mengeja maksudmu.
Bahwa sebenarnya, kau memang tak pernah menjanjikan apapun.
Kau merendah untuk tidak di tinggikan.
Kau berkata, kau tidak seindah itu untuk di perjuangkan.
Kau berasumsi, yang bisa kau berikan hanyalah luka.
Hey... untuk apa saling menuduh mengijabkan sangka?
Jika kita bisa meneduh melaraskan cinta.
Kau terlalu pecundang, untuk berjuang menyelamatkan rasa.
Dan benar adanya, ketakutanmu telah meniadakan kita.
-Lingga Annar.
Komentar
Posting Komentar