Langsung ke konten utama

KITA ADALAH PEMBOHONG ITU



Kita adalah pemeran panggung distraksi dalam narasi luka.

Terkenal di seantero kota, si ceria yang memiliki banyak warna.

Seolah-olah manusia yang paling bahagia.

Mereka sering datang membagikan masalah, berharap reda sebagai hadiah.

Padahal kita hanya manusia rapuh, yang bersembunyi dibalik topeng renjana.


Menyembunyikan yang benar, lalu menunjukan yang salah.

Kita lebih hebat berpura-pura, dari mereka yang belakon di atas panggung cerita.

Kita adalah pembohong besar dari pertanyaan "kamu kenapa?"

Kita menganggap lebih baik tersenyum kemudian berkata "aku baik-baik saja."

Kita terbiasa memberi, daripada menerima.

Terbiasa juga bertanya, daripada menjawab.

Terbiasa mengalah, terbiasa untuk meng-iyakan daripada menolak.

Kemudian membawa luka sebagai yang terpantas untuk diterima.


Ada saatnya kita menjadi manusia

yang kuat, tapi kita lebih banyak

menjadi manusia yang sok kuat.

Membungkam diri dengan kata sabar.

Menekan perasaan yang berulang-ulang di sumpal paksa untuk tenggelam.

Tanpa di sadari, kita sedang mengisi ulang beban dengan daya berat yang sudah di ambang batas.

Seperti gelas yang sudah penuh, lalu tumpah setelahnya.


Semua orang hidup dengan sisi gelap mereka, bedanya beberapa orang membuat kesepakatan dengannya. sedangkan kita, hanya terus memendam kegelapan itu.

Kemudian menjadikannya sebuah bom waktu yang bisa meledak kapan saja.

Mengutamakan masalah mereka, lalu mengesampingkan masalah sendiri.

Sama saja memupuk bahan baku untuk membunuh diri sendiri.


Pahamilah tidak semua orang membawa perban saat kau terluka, sebagian besar malah membawa garam.

Sebagian lagi menyirami dengan cuka.

Hingga kau terbakar saja, mereka belum tentu sudi mengibas air, untuk melepaskan rasa dahaga.

Begitulah kau, yang selalu tampil terlihat baik-baik saja.

Ketika terluka, merasa tak pantas untuk bercerita. 

Hanya bisa diam, menelan segala yang pahit sendirian.


Kita terlalu piawai menyembunyikan hal yang besar, mengemas rapi segala yang patah, lalu menjadi sederhana dan elok di mata mereka.

Kita adalah pembohong itu.

Yang menangis ketika tidur mengantar mereka pada lelap yang senyap.


Kita adalah hening yang bersuara nyaring, ketika malam bercinta dengan gelapnya.

Kita adalah pendusta rasa.

Sang perfeksionis yang mengelabuhi hari.

Meski sering ditelanjangi waktu, terkapar lemah.

Kita tetap pecinta luka, sebagai candu yang menolak untuk diobati.


Kalau mendapat hal yang baik, kemudian bertanya "apa aku pantas dapat ini?"

Ketika mendapat hal yang buruk, kemudian merasa "aku memang pantas mendapatkannya."

Wajar saja kita sulit merasakan bahagia yang nyata. Karena pikiran kita sendirilah yang membatasinya.

Kemudian menjauhkan kita dari rasa bahagia, yang kita juga layak mendapatkannya.



-Lingga Annar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seandainya Saja

Seandainya saja kamu mengerti, bahwa setiap perkataan adalah doa dan setiap perbuatan akan ada balasan. Termasuk menyakiti hati yang sedang berusaha membahagiakan. Seandainya saja kamu pun tahu, bahwa sudah seharusnya kau berubah jadi versi terbaikmu, meski kata itu sekarang bukan untuk diriku. Tapi kuharap tiada lagi korban dari permainanmu. Seandainya saja kamu mengingat, di mana masa lalu masih melekat dengan erat. Waktu itu kamu dan aku bertemu di tempat sepi yang kuberi nama ruang rindu. Hingga akhirnya kita saling mengenal. Meskipun akhirnya cerita kita belum sempat selesai. Seandainya saja kamu pernah merasakan apa yang aku rasakan sekarang, tentang kenangan yang harus kembali hilang. Meskipun akhirnya, di sini aku yang lagi-lagi tersakiti. Seandainya saja kamu bisa jadi aku. Untuk merasakan sakit yang aku rasa karenamu. Tentang seseorang yang selalu menangis, karena orang yang aku cinta, begitu tega menikam dan bertingkah sangat sadis. Seandainya kamu mengerti diamku. Bukan ber...

RASAKU

Hariku indah, ketika kicauan burung menyapa merdu di telinga. Ketika hujan terang, muncul lah pelangi. Ketika kamu menyapaku dengan puisi. Yang berkedok pengagum rahasia.  Lucunya cerita itu jika kuingat-ingat..  Dan lebih lucunya aku tak merasa kalau puisi yang kamu tulis ditujukan untukku. Yahh... Bisa di bilang aku makhluk yang tak peka..   Padahal kamu tak tahu di hati ini berharap. Kapan ya, aku punya pengagum rahasia? Kapan ya, aku dibuatin puisi romantis? Kataku dalam hati..  Perkenalan tanpa sengaja  Ocehan yang tak berfaedah Gurauan yang sangat receh Itu saja sudah berkesan..  Apalagi sekarang saat kita berbincang via suara..  Tanpa kita sadari dari musibah  Kita semakin dekat dan melekat Semakin berhasrat dan memikat. Rasa yang semakin besar berkobar Tanpa sadar cinta kita pun semakin mekar. Wahai tuan Kau tahu rasaku semakin tak karuan Jiwaku tak beraturan, karena cintamu bikin aku kecanduan Aku tersesat dengan cintamu Aku terbuai ...

Senja yang Cemburu

Senja yang Cemburu Pada gemintang yang merayu Memeluk senja begitu syahdu Mencintai adalah tentang rasa Pertemuan kita ibaratkan cinta Bayang semu seperti kata ikatan  Genggaman tangan seolah menjauh  Senyum dan tawamu sebuah saksi  Kata merelakan tidak pernah ada  Yang ada hanya sisa cemburu Perihal rasa yang tak bertemu Apakah kamu pernah melihat  Kumbang yang tak bersayap ia begitu pesakitan dengan lukanya,  selayaknya seorang kekasih  yang kehilangan pelukan hangat cinta Andai semuanya masih sama  Mungkin tempat ini akan berbeda Tidak lagi terkutuk pada kesendirian. Indie Sunandri, 2023