Angin menari-nari kala malam. Belum selesai melukis gelapnya. Dinginnya memanggil, hawanya gundah. Sedang bulan baru saja menyelesaikan sajak selamat datang yang dituliskan awan. Dua tiga puisi telah dilantunkan. Pada malam itu, tampaknya ia mulai lelah meluruhkan syairnya.
Entah pertanda apa lagi yang sedang dikirimkan Tuhan. Berikut dengan perasaan gelisah yang menyertainya.
L : Tercium aroma tubuhmu di sela-sela ladang mati. Tampaknya, lelahmu bertandang sampai matamu menyentuh iba ku.
Pelan-pelan kucoba terjemahkan bahasa tatapmu. Ada hujan dan badai yang berkecamuk disana. Katakanlah, apa yang bisa kubantu untuk meredam rasa sakitmu.
P: Wahai kau yang bernama entah, apa kepentinganmu dengan aku? Tiada ada kau menyapa, tiada pula kita saling kenal sebelumnya. Jadi, siapa kiranya dirimu merasa mampu menawarkan bantuan padaku?
L : Aku adalah sebuah rintang dalam laut bara, arah cerita yang tak tahu kemana ia bertepi.
P: Wah, wah, wah. Heroik nian tampaknya julukan yang kau persembahkan. Sayang seribu sayang, panggungku tak lagi butuh sosok pahlawan kesiangan.
L : Bukan aku seperti apa yang kau nisbahkan wahai Puan. Mungkin hanya sepantar remah makanan anjing jalanan. Tidak sederajat sudra, apalagi seorang pahlawan. Sehingga tiada bermaksud meninggi aku ini Puan. Hanya melihatmu, terkoyak empati ku atas nama kemanusiaan.
P: Empati? Kemanusiaan? Pergilah menjauh saja!
Tak butuh aku manusia, apalagi seorang brengsek atas nama laki-laki atau pria.
L : Usalah kau hardik diriku mentah-mentah seperti ini Puan.
Sekuat apapun kau sebagai perempuan, kau akan tetap butuh laki-laki.
P: Cih, laki-laki. Sepanjang aku mampu menghela napas dalam paru, sejak itu pulalah mataku menyaksikan bahwa tidak ada lelaki yang lebih dari bedebah hilang malu.
L : Persetan dengan segala asumsi. Satu pria melakukan kesalahan, lalu kau simpulkan semuanya sama. Katakan saja, warna apa yang kau inginkan? Akan kupersiapkan baik yang gelap pun yang hidup.
Katakan pula musim apa yang kau harapkan? Akan kuciptakan langit beserta tanahnya kusus untukmu.
P: Maksudmu apa? Mengapa kau alih-alih datang memaksa untuk aku terima? Kau tidak mengenal aku, begitupun sama sebaliknya dengan aku.
Tidak perlu berbicara warna, sebab apapun warnaku, denganmu tidak ada hubungannya. Tidak perlu kau, menawarkan ini itu untuk menghapus gundah!
Apalagi bicara tentang musim pula. Tidak ada kaitannya! Sebab pada apapun musimnya, hidupku sengsara!
Pergilah saja. Enyah!
L : Tepat di barat daya kelopak matamu, aku berjalan menapaki bukit pasir. Melawan arah angin, menerima kekeringan. Bumimu tandus.
Dan seratus putaran logikamu aku berjalan melintasi. Terlampau sepi dengan gelapnya, terlalu hingar dengan malamnya, terlalu riuh dengan sendunya.
Katakan saja, aku memintamu katakan. Bukan mendiktemu sesuai keinginan. Jika kau tak sudi, tak apa puan.
Disaat kau sendiri membutuhkan teman, keras kepalamu masih saja melangit. Dasar perempuan berjubah gengsi!
P: Kau sama saja. Kau laki-laki.
Tak ubahnya laki-laki yang menelantarkan aku dan Ibu yang disebut orang-orang 'Ayah'
Tak ubahnya laki-laki yang membumbung lalu melemparkan aku sesukanya yang disebut 'cinta'
Atau lelaki-lelaki bermulut biadab yang mencemooh serta menistakan aku, seolah aku tak lebih ada harganya ketimbang sampah!
Kau sama saja!
L : Aku bersumpah... Darahku menanam saksi. Dua belas langkah aku sampai di kubangan tangismu, ada rakit-rakit masalalumu yang mengapung, kepahitan yang membuncah, juga pecahan janji mulut manis buaya yang tenggelam di dasar.
Boleh kau anggap aku sama seperti yang lainnya.
Tapi puan, ragamu berteriak melepas sakitnya. Pelan-pelan ia meregang jiwanya. Ijinkanlah aku membantumu, biarkan saimbara ini sebagai ujian pemurnian asliku. Biarkan waktu yang membantumu menilaiku.
P: Tidak mudah menjadi aku. Rantai-rantai terpilin pada tangan, kaki yang dipasung, serta kerongkongan yang disumpal adalah saksi betapa, mengapa aku tak lagi mampu memercayai siapa!
Jiwaku diberenggus dari tempatnya. Tangisku tak lagi berdarah melainkan nanah! Busuk menguar dari manusia-manusia yang lebih serupa burung bangkai.
Aku dimanfaatkan, dijual, dihinakan!
Desau ombak saksinya aku meronta, memohon, menyembah. Nyatanya dunia fana ini lebih-lebih dari seribu jarum patah yang diinjakkan ke kaki.
Beribu purna aku menjalani hidup yang sebenarnya aku tak mau lebih lama. Meyakini diriku tak berharga, nista serta durhaka.
Semuanya sebab pria. Laki-laki yang katanya hebat dalam melindungi tapi tak ubah serigala dalam rumah sendiri.
L : Aku turut sepenanggungan atas dukamu yang ranum, merimpuh sekian lama.
Tidak ada yang mudah di dunia ini.
Tidak untuk kau pun aku.
Waktu menggerus berjalan seperti komedi putar.
Luka lara, ratap tangis, kertak gigi.
Hari-hari penuh dengan enigma.
Berhenti menukas bahwa semuanya kesalahan pria.
Harusnya kau bijak membaca tanda.
Manusia terlalu buas untuk di jadikan rumah.
Tumpahkan lah semua kekecewaan mu.
Aku tidak akan menghakimi lukamu.
Ceritakan sampai ada sedikit lega memelukmu. Rasa sakit memang perlu di ungkapkan. Daripada lara yang harus di pertahankan.
Silahkan, jika masih ingin menuduh kalimatku terlampau klise pun terkesan bual.
Silahkan, berteriaklah lebih keras mengeluhlah sejadi-jadinya.
Niscaya, rasa sakitmu akan menjadi sedikit hambar.
P: Mungkin pinggan pecah beserta retaknya gerabah mendefinisi parahnya sebuah patah.
Ilalang yang bergoyang, serta rumput teki yang menjajah sawah, melambai mesra melepas luka-luka yang tersekap sekian lama, dalam lumbung-lumbung petani buta.
Ya, benar. Niatmu tidak buruk, tapi pandanganku yang ternyata hilang kemampuan.
Kau adalah musafir yang ingin menawarkan bantuan pada aku, padi yang hilang bulirnya. Yang habis sarinya, raib isinya. Kopong. Kosong melompong.
Semoga awan menyampaikan padamu rasa terimakasih yang kelu di lidahku. Atau semoga saja kau mampu membaca isyarat-isyarat patah dari pucuk daunku.
Semoga saja.
L : Kepalamu baru saja mengucapkan terima kasih pada pundakku.
Apa pun pilihanmu. Aku hanya bisa mengaminkan semogamu agar segala yang baik jatuh pada keputusanmu. Kita boleh memilih dan mengaminkan, sisanya biar Tuhan yang mengambil peran.
02/07/2023
–Lingga Annar dan Derana Reva
Komentar
Posting Komentar