![]() |
Aku pernah terlalu bodoh untuk tidak menganggap penting arti sebuah kehadiran, waktu dan kesempatan yang ada.
Dia memang telah pergi. Meskipun begitu, dia selalu saja mampu mengalirkan hangat di sudut mataku saat mengingatnya.
Aku memaksa diri untuk mengimbangi semua ingatanku tentangnya.
Dan hening malam ini menyergap bibirku yang kelu.
Desir pilu bertambah ketika aku membuka kembali bongkahan-bongkahan kenangan darinya yang kusimpan rapi.
Pipiku kini basah oleh bulir kesedihan yang tak sanggup lagi kutahan.
Pikiranku meracau, tidak jelas.
Semua duka yang selama ini kusimpan, mulai mengaliri pipiku dalam bentuk hujan. Sebelumnya aku percaya, kalau kesedihan akan larut dalam tetesan hujan.
Tapi sekarang rasa-rasanya hujan tak lagi mau berteman denganku, dalam pelukannya hanya ada lautan murka.
Aku tahu, seharusnya kata maaf terucap lansung. Bukan hanya di bentuk oleh huruf berupa kata-kata.
Sepertinya kata maaf yang terucap lisan, tak akan lagi bersambut dengan baik.
Aku masih punya sedikit waras di kepala, untuk cukup merasa sadar diri.
Semua kesalahan yang kulakukan bagaikan pedang bermata dua. Kau yang terhunus bersimbah luka, dan aku yang tervonis sebagai tersangka.
Aku terhukum rasa bersalah, nelangsa menghempasku sampai ke dasar nestapa.
Sederet kalimat yang menumbuhkan belantara luka yang rapat di hatiku.
Aku menerima semua cemo'oh, makian, opini-opini liar mahluk yang berjuluk manusia.
Juga untuk kau tahu, bahwa selepas pamitmu. Aku tak pernah mencoba untuk bertamu pada rumah-rumah yang lain.
Entah kau akan percaya atau tidak.
Banyak di luar sana yang menawarkan singgah.
Yang rumahnya lebih luas dari milikmu, pun hiasannya lebih megah dari milikmu.
Tapi, aku tidak memilih demikian.
Beberapa malam telah kulewati, tanpa dekapmu yang menghangatkan. Tanpa suaramu yang menenangkan.
Tanpa riuhmu yang mendamaikan.
Untuk segalamu yang telah jauh, maaf jika aku masih lancang diam-diam bercerita pada biasmu yang tertinggal.
Percayalah, bukan kau saja yang merasa kehilangan.
Bukan kau saja yang kelimpungan menata hati.
Dua tahun lebih kita berjalan, itu bukanlah hal yang sederhana dan tentu sangat tidak mudah untuk di tiadakan.
Aku sendiri dengan suara tangisku. Merasai-asai napasmu yang telah jauh.
Separuh jiwaku mati dengan penyesalan, yang tersekat di dadaku.
Sungguh, ini sangat menyakitkan. Terbebani rasa bersalah sebagai pelaku adalah bunuh diri yang paling ironi.
Kini aku berjalan sendiri, tanpa sosok yang selalu mengingatkanku tentang segala hal yang baik. Tanpa sosok, yang melapangakan waktu mendengarkan dongeng panjang sebelum tidur.
Tanpa sosok, yang memarahiku. Karna keras kepalaku.
Juga untuk kau tahu, aku sekaligus kehilangan teman diskusi, teman berdebat.
Serta teman baik yang selalu mendukung segala upayaku.
Semua yang baik, kini sudah di rampas paksa oleh kehilangan. Semuanya lenyap bersama pergimu.
Aku tertatih-tatih mengeja rinduku.
Pada puisi-puisi yang kutulis, berharap malam menyampaikan salamku.
Sayang, manusia ceroboh yang kau kenali dua tahun yang lalu ini.
Dia udah gak kuat, untuk belajar terbiasa tanpa hadirmu.
Meniadakanmu dalam satu hari saja, dia sudah sangat kewalahan menghadapi dirinya sendiri. Rasanya terlalu munafik, kalau aku ini baik-baik saja.
Rasa nya sungguh mustahil untuk di percaya, pada pesan terakhir yang kuketik. Kalau aku ini bisa melewati hari-hari tanpa dirimu.
Dua tahun lebih itu bukanlah waktu yang sebentar. Tidak mudah untuk menjadi kau atau pun aku. Untuk melewati semuanya sendirian.
Rasa-rasanya aku tidak akan pernah bisa memaafkan diriku.
Sekali lagi maaf, aku gagal menyelamatkan rasa.
Aku terlalu payah dalam mengupayakan segala hal yang baik untuk kita.
Semoga sembuh. Bisa kau peluk tanpa harus dengan bersusah payah.
Semoga lekas berangsur pulih.
-Lingga Annar.
Komentar
Posting Komentar