Satu persatu warna hilang. Penglihatan ku makin merasa semuanya terlihat sama. Membosankan, tak menarik. Tak membahagiakan, hampa.
Pusaran kecewa berputar membesar di kepala. Mengapa? Mengapa? Mengapa? Adalah tanya yang lagi-lagi urung menemui jawabnya.
Mustahil bertanya pada yang hilang. Tak ada.
Maka dengan itu aku terseok-seok menyongsong hari yang nir-warna. Sedetik tertawa, kemudian turun air mata. Kemungkinan besar, sudah gila.
"Mungkin karena masih baru. Besok pasti lebih mudah." desahku menguatkan diri. Tapi malah terdengar seperti tengah menipu diri sendiri.
Tawa nyaring menggema ditelan langit-langit kamar. Sesak yang menyerang paru, menciutkan napas hingga tersengal.
Aku tidak mampu Tuhan.
Demikian kata-kata lesap bersama gemerutuk gigi yang kian menguat. Gusi berdarah terasa besi di lidah. Jadi, makin-makin aku tertawa.
Kiranya begini mengasihi kasih yang salah. Terjerembab dan patah adalah hal yang lebih banyak dituai daripada bahagia. Ego semerta-merta sirna. Memohon pada hal salah menjadi benar di mata yang buta.
Asalkan bersama. Itu mantranya.
Padahal kehilangan nilai. Tersepak-sepak sebab dianggap sampah.
Asalkan bersama.
Getir pahit tahan dimakan tanpa apa-apa.
Asalkan bersama.
Tenggelam rasanya bukan apa-apa.
Asalkan bersama.
Menderita pun bisa dirasa tidak mengapa.
Begitu aku terus memanjat hari menuju hari. Merangkak. Menggeliat di tengah badai labil-mu yang tak punya reda.
Seakan-akan punya harapan, padahal selalu paham akan ditinggalkan.
Bahu yang bergetar makin kencang nyatanya tak mengembalikan pecahan kaca pada ujung gelas. Rubik rasamu terlalu sulit dibalikkan.
Di tengah nyanyian duka yang berkelindan di udara, aku meraup bau kulitmu yang tertinggal serupa harum dupa. Mungkin ini sembahyang sebelum nestapa. Mungkin juga rasa terima kasih masih dibolehkan berduka.
Maka lutut akhirnya luntur ke lantai jua. Pula telapak tangan, serta merta kepala.
Aku berusaha.
Demi Tuhan, aku telah sangat berusaha.
Wanita Gila–
03/08/23
Derana Reva
Komentar
Posting Komentar