Sebenarnya, selama ini aku tidak lagi tau apa alasan tepatnya kenapa aku tetap bertahan.
Rasa kagum dan hormat telah lama hilang, lantaran kenyataan membawa ekspetasi-ekspetasiku tentangmu tak menemui muaranya. Sebelum ini, berkali-kali aku berpikir untuk pergi menghilang dengan tiba-tiba.
Saat kau kelimpungan mencari-cari aku, aku ingin itu menjadi hukumanmu.
Tapi agaknya, tiba-tiba aku malah lanyau dengan pertanyaan bermata dua yang kulayangkan.
Benarkah akan menyakitimu atau malah sebenarnya itu yang kau mau?
Pastinya begitu.
Hingga ku pastikan, bahwa aku telah terlalu lelah dalam pasrah. Tindak-tanduk mesra di belakang punggungku, tampaknya sudah tak lagi berdampak lara.
Aku terbiasa untuk memakluminya. Tidak lagi bertanya. Dalam rungsang, diam saja menonton kau berlakon drama dengan piawai tak kira.
Aku tau perempuan-perempuan yang kerap kau kabari aktivitasmu itu tidak hanya satu. Saling bertukar kabar, bertanya banyak hal. Tidak heran jika mereka selalu tau kabar terbarumu.
Hal yang membuatku penasaran setengah mati. Tidak punyakah mereka harga diri? Atau barang sedikit saja hati nurani?
Begitu bangga dihubungi lelaki beristri bahkan beberapa tau bahwa aku pasanganmu sendiri. Mengapa hatinya terlalu keras untuk peduli?
Ah, mungkin karena terlalu manis perhatian yang kau beri ya mas. Itu pula yang menjerat aku sampai begini.
Mas, ini pesan terakhirku.
Hari ini, aku memutuskan mati gantung diri. Mohon maaf jika nanti kau harus sulit menurunkan aku dari gantungan tali.
Aku pergi duluan ya mas.
Di akhirat nanti, meskipun kau lihat aku tergantung di neraka. Bilamanapun aku tampak sangat tersiksa dan kau rasa iba, mohon jangan sekalipun kau menyapa.
Sebab, dengan tak mengingatmu di mana-mana, aku bisa lebih berbahagia.
Pesan Terakhir Bunuh Diri—
11 Oktober 2023
Derana Reva
Komentar
Posting Komentar